Blog Asik
Jangan lupa RSS meimiaw :)
Bookmark
di Browser kamu
Punya pertanyaan?
Kirim email ke Mei!

Jumat, 17 Agustus 2012

Sudah pudarkah rasa patriotisme generasi muda kita sekarang ini?

0 komentar
INDONESIA mendengarnya saja bulu roma di tubuh ku berdiri. Satu kata satu arti terdapat didalam kata Indonesia berjuta-juta impian terdapat di kata Indonesia. Indonesia ku tanah air ku. Tempat aku dilahirkan. Berjuta-juta impian dan harapan terwujud saat aku mendengar kata Indonesia. Di Negri ini aku menggantungkan berbagai keinginan, harapan dan tujuan. Keinginan untuk menjadikan indonesia sebagai negara yang menciptakan kedamaian, ketentraman, kesejahteraan bagi semua kalangan. Baik itu kalangan dari lapisan bawah hingga lapisan atas, tidak memandang dengan jabatan, tahta, dan harta. Tapi melihat dengan nilai keadilan. Keadilan untuk semua masyarakat indonesia yang haus akan keadilan. Harapan agar indonesia lepas dari ketergantungan hutang-hutang dari negara lain, harapan agar indonesia mampu bersaing dengan negara-negara maju. Harapan agar terwujudnya nilai nasionalisme di masyarakat yang kian hari kian pudar karena adanya ideologi dari negara lain. Nasionalisme = Lebay? “Ih lebay…” Sergah salah saeorang teman tiap kali saya meneteskan air mata manakala sang saka dinaikkan. Melihatnya berkibar adalah kebanggaanku. “Lebay!” saat saya terisak melihat patriotisme di film kemerdekaan. “Lebay!’ manakala air mata saya kembali berlinang di tengah perjalanan mudik. Menyaksikan keindahan panorama kampung halaman… “Lebay! Lebay! Lebay!” Lagi dan lagi. Dan akhirnya penulis bosan mendengarkannya. Rasa-rasanya setiap kali bersikap heroik, ujung-ujungnya teman berkata “Ih, mbag lebay…” Fakta ini acap dialami penulis. Seorang teman se kampung yang kerap mengatakan demikian. Penulis pun jadi menyimpulkan sendiri makna kata lebay itu sendiri, yang tadinya tidak memahami apa maksudnya, sedikit mendapatkan penerangan maknanya seperti apa. Sampai akhirnya penulis sangsi, apa yang selama ini dianggap sebagai rasa nasionalisme tiba-tiba rasa itu diketahui hanya sebagai sebentuk kelebayan semata. Penulis malah berdalih, atau jangan-jangan memang rasa nasionalisme di kalangan pemuda saat ini sudah bergeser makna dan bentuknya. Rasa yang dahulu diagung-agungkan, kini hanyalah seonggok perasaan lebay semata. Nanar memang. Saya bertanya dalam hati. Jika khidmat mengikuti prosesi kenaikan sang saka dikatakan lebay, jika jiwa menangis manakala menonton patriotisme kemerdekaan dikatakan lebay, apa sesungguhnya yang dinamakan nasionalisme? Seperti apa sebenarnya rasa nasionalisme itu seharusnya? Pudarnya Rasa Nasionalisme Pemuda Tidak ada yang menyangkal jika spirit nasionalisme pemuda era reformasi kian memudar. Tentu, di sini penulis merasa tidak perlu mengurai apa penyebabnya. Sudah bukan jamannya lagi mencari kambing hitam, saatnya kita membunuh kambing hitam dengan mencari solusi dan pemecahannya guna mengharu-birukan kembali semangat nasionalisme pemuda. Terang, yang dibutuhkan adalah olah gagasan, ide untuk berpikir dan bergerak supaya spirit nasionalisme itu tumbuh. Spirit adalah mentalitas. Tak dapat dipungkiri membangun mentalitas nasionalisme itu tidak mudah. Perlu usaha keras dan kerja cerdas. Mentalitas adalah barang mahal yang tak gampang diperoleh. Sementara mentalitas ini adalah akar dari gerakan nasionalisme. Hal ini sangat fundamental. Di samping sistem tentu spirit dan rasa nasionalisme yang membangun mentalitas ini akan menentukan action kita di lapangan. Adapun upaya untuk membangun mentalitas ini bisa dilakukan dalam berbagai cara, dua diantaranya adalah sebagai berikut: Change Our Mind (Paradigm) Beberapa tahun belakangan ini pasca bergulirnya reformasi, hilir mudik paradigma yang berkeliaran di depan kita penuh dengan bahasa-bahasa negatif. Pencitraan terhadap bangsa sendiri tak berimbang, terlalu condong melulu soal keburukannya. Bangsa Indonesia, di semua lini seolah adalah gelap, hitam dan pekat. Setetes embun prestasi bahkan tak lantas menyejukan. Merujuk pada semua lini, kita tak habis-habisnya mencerca diri sendiri. Awal wacana ini merebak, penulis heran sendiri, kok ada ya bangsa yang gemar menghina diri sendiri. Penulis pikir suatu saat kelak, ini akan mengenai self-esteem kita, yang tentunya bisa membunuh rasa percaya diri kita. Inilah masalah terbesar kita, kerapuhan mentalitas. Jangankan spirit nasionalisme akan tumbuh kembang, kepercayaan akan diri sendiri saja berasa rumit nian diperoleh. Menumbuhkan spirit nasionalisme berarti membangun mentalitas. Membuang jauh-jauh rasa rendah diri, bahasa-bahasa negatif dan merubah mind-set adalah hal pokok yang musti dilakukan. Pada semua bidang, utamaya ranah pendidikan aksi-aksi ini wajib digulirkan. Mengingat ranah ini adalah sekolah pertama bagi generasi muda. Jika kita salah mendidik rasa nasionalisme,,sampai kapanpun itu akan tetap menjadi kesalahan. Indonesia harus disampaikan sebagaimana Indonesia mengharapkannya. Ada perbedaan dalam cara menyampaikan. Bahasa positif akan membentuk perbedaan karakter dari sekedar umpatan negatif. Caranya kita bukan mereduksi fakta di lapangan, melainkan fakta negatif kita jadikan sebagai pembanding dan informasi atau membuat pola studi kasus untuk bahan ajar generasi muda. Jangan lantas kita memperlihatkan inilah Indonesia yang penuh dengan keterpurukan tanpa pernah kita memotivasi mereka memperbaikinya. Jiwa suci mereka otomatis akan ditumbuhi rasa pesimis mendalam. Artinya, setiap nasehat harus ada kesimpulan yang membuat mereka bangga dan mau bergerak atas nama nasionalisme. Berpikir positif akan membuat hidup kita lebih baik dan mengundang keajaiban tak terduga. Modal positive thinking akan membangkitkan kemampuan melihat setiap tantangan menjadi peluang. Tantangan adalah momentum untuk bergerak. Sehingga spirit tetap ada dan langgeng bagaimanapun tantangan setiap jamannya. Think Globally, Act Locally Salah satu indikasi nyata ada tidaknya semangat nasionalisme adalah perilaku kita. Wacana yang rame-rame digulirkan untuk mencintai produk Indonesia adalah sebagai bentuk gerakan nasionalism. Namun apakah jalan tersebut efektif? Atau kita kembali mencintai Indonesia baru setelah ada negara-negara lain yang melecehkan bangsa kita? Tuluskan rasa nasionalisme seperti demikian? Tak bisa kita nafikan, itulah kita. Kita yang masih lebih bangga menggunakan produk luar, lebih bergengsi dengan gaya hidup western, atau label import lebih memikat kita. Penulis akui, itulah kita. Rasanya tak bijak juga jika kita serta merta memutusnya selama belum ada solusi terbaik. Penulis seringkali menggembor-gemborkan spirit nasionalisme yang berbasis falsafah universal. Ambilah falsafah dari negeri manapun yang menurut kita baik, lalu kembangkan apa yang didapat itu sesuai dengan pola kekayaan lokal kita. Bukanlah sebuah dosa jika kita memunguti falsafah orang lain untuk memodernisasi ekonomi, budaya, sosial dan kepemimpinan lokal Indonesia. Hawa dan bau modern ternyata jauh lebih disukai oleh kalangan muda. Balutan busana modern pada lini-lini di atas bisa memicu dan memotivasi kreativitas generasi muda. Kita tidak diharapkan mengurung diri dalam wacana nasionalisme yang sempit. Menutup diri dari pusaran peradaban dunia sama saja bunuh diri di tengah perjuangan. Seorang nasionalis yang mampu berpikir terbuka , berprestasi, berwawasan kebangsaan dan bergerak untuk memajukan kekayaan lokal adalah harapan dari poin ini. Berpikir modern di situs lokal, think globally act locally. Kedua poin ini pada dasarnya bergerak di tataran individu. Lebih khusus lagi, ada dalam dada setiap masing-masing rakyat Indonesia. Sangat abstrak memang, tapi ini adalah key poin yang sifatnya sangat fundamental. Buktinya, banyak sekali lahan yang bisa mengIndonesiakan diri kita. Akan tetapi ternyata itu tak lekas medorong kita menjadi Indonesia sejati. Selama ini yang dibangun dan terbangun adalan sistem dan tuntutan menjadi Indonesia bukan mentalitas. Sekali lagi spirit adalah mentalitas. Tanpa mentalitas nasionalisme yang kokoh tentu semua akan sia-sia. Sistem yang kokoh, model ekonomi kebangsaan, tak bisa berbuat banyak tanpa spirit dan rasa nasionalisme pelakunya, tanpa mentalitas pembangunnya. Nasionalisme itu letaknya di hati. Bukan di atas sang saka-merah putih, mengelilingi di upacara bendera setiap senin pagi, pada penggunaan bahasa Indonesia, apalagi hanya sekedar pada produk-produk Indonesia. Symbol adalah bentuk nasionalisme sederhana. Ia tersimpan rapi di hati setiap rakyat Indonesia, yang setiap saat bisa membangunkan macam Asia dengan ketajaman taringnya. Nasionalisme itu didadaku.

0 komentar: